Suara hati membimbing pembaharuan

Saturday, 20 August 2011

Tobing.or.id, Terdapat sebuah cerita kuno. Alkisah pada suatu peristiwa Tuhan memperingatkan rakyat mengenai datangnya gempa bumi yang akan menghabiskan seluruh air yang ada di seantero negeri. Air yang akan datang mengganti akan membuat setiap orang menjadi tidak jujur dan gila. Hanya satu orang saja yang menanggapi peringatan Tuhan dengan serius. Ia lantas mengusung air sebanyak-banyaknya ke gua di atas gunung, sehingga cukup sekiranya dipergunakannya sampai hari kematiannya.

Ternyata benar, gempa bumi sungguh terjadi. Air menghilang dan air baru mengisi parit, danau, sungai serta kolam. Beberapa bulan kemudian, orang yang menyimpan air di atas gunung, turun ke lembah untuk melihat apa yang terjadi. Memang, semua orang telah menjadi gila. Terang dengan sengaja diputarbalikkan menjadi gelap, dan gelap disebut sebagai terang. Kebohongan dan kepalsuan dijunjung tinggi, sementara kejujuran diinjak-injak dan disingkirkan. Semua orang bersukacita di dalam kejahatan, dan berdukacita di dalam kebenaran. Bahkan mereka malah menyerang, menganiaya serta tidak mempedulikannya. Semua orang yakin justru dialah yang sudah menjadi gila.

Maka orang itu pun pulang ke guanya di gunung. Ia senang, bahwa ia masih menyimpan banyak air. Dengan begitu ia bisa menjaga diri supaya tidak larut dalam kegilaan yang merambah banyak orang. Namun lama kelamaan ia merasakan kesepian yang tak tertahankan lagi. Ia ingin sekali bergaul dengan sesama manusia. Maka ia turun ke bawah lagi. Dan sekali lagi ia diusir oleh orang banyak, karena ia begitu berbeda dari mereka semua. Ia begitu bersih dan cerah, sementara semua orang gelap dan semrawut.

Sekembalinya di gunung, orang itu lalu merenung dan mengambil keputusan. Ia membuang seluruh air yang disimpannya, bergabung dan meminum air baru seperti orang-orang lain, sehingga sama-sama menjadi gila.

Ilustrasi tersebut bisa jadi menggambarkan kenyataan keseharian kita. Kehidupan kita dikepung oleh kegilaan yang sama. Ketidakjujuran dan kebohongan dihargai, sementara kejujuran disingkirkan. Korupsi, manipulasi, kebohongan, dianggap sebagai budaya, sehingga dianggap wajar untuk dilakoni. Di sekolah, di tempat yang idealnya menjadi persemaian karakter kejujuran, malah banyak ditemui kisah anak-anak yang menyontek saat masa ujian tiba. Kerapkali, demi dalih kelulusan dan prestasi, aksi ketidakjujuran semacam itu malah dilegalisasikan oleh beberapa kalangan pendidik. Begitu pula dengan cerita pemalsuan maupun praktek jual-beli ijasah yang marak beredar di kalangan perguruan tinggi. Agaknya demi harga diri dan kebanggaan semu, ketidakjujuran menjadi sah untuk diberlakukan dan diperjuangkan.

Jika berbicara tentang kejujuran, murid Kristus Yesus yang bernama Simon Petrus sebenarnya adalah sosok yang jujur, tatkala mengungkapkan pendapat yang sekaligus menjadi pengakuannya: Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup

Pengakuan Simon merupakan pernyataan yang jujur, mengingat bahwa Yesus tak pernah sekalipun mendikte para murid untuk mengakui-Nya dengan sebutan tertentu.

Pengakuan Simon juga merupakan pengakuan original, bersumber dari kedalaman hati yang mengalami perjumpaan dengan Bapa yang menyuarakan hikmat tersebut kepadanya. Karena itulah Simon disebut berbahagia (ayat 17)

Melalui pengakuannya yang istimewa, Simon Petrus memposisikan Yesus sebagai Kristus, Mesias, Sosok Yang Diurapi, Yang Terpilih, Raja, Nabi dan Imam yang dengan kemegahan ilahi, datang dari awan-awan demi menyelamatkan umat-Nya dari belenggu kesengsaraan. Setidaknya itulah gambaran Mesias sebagaimana yang lazim dipahami oleh orang Yahudi. Walaupun pada kenyataannya sebagaimana hikmat Allah yang tak terselidiki dan tak terselami-makna Kemesiasan Yesus berbeda sama sekali dengan gambaran manusia. Sang Penyelamat yang didambakan, alih-alih bergelimang keagungan kuasa dan kewibawaan pemerintahan, malah menjadi hamba yang menderita, dan mati disalibkan.

Namun itulah Gusti Allah yang tan kena kinaya ngapa, tak pernah secara tepat dapat digambarkan seperti apa (Rom 11:34). Karena itu, paksaan Simon Petrus kepada Yesus untuk berbuat sesuai dengan penggambarannya akan Sang Mesias yang bebas penderitaan, segera ditolak mentah-mentah oleh Kristus Yesus. (Lihat Mat 16:22-23)

Akan tetapi, walaupun Petrus jujur dalam melontarkan pengakuan, pada kenyataannya dia juga manusia yang kerapkali terpelanting dalam kubangan kebohongan dan ketidakjujuran.

Saat berada dalam kondisi krisis, Petruslah sosok murid yang diceritakan berbohong, serta menyangkal Tuhan: Aku tidak mengenal Dia, ujarnya. Peristiwa tenggelamnya Petrus saat mencoba berjalan di atas air, juga dipengaruhi oleh kekuatiran serta keraguannya. Bibir bisa saja dituntun untuk seolah secara jujur mengucap ikrar Aku percaya kepadaMu Tuhan, namun hati dan motivasi yang tidak percaya, meragukan, serta tidak jujur sebenarnya menentukan segala sesuatunya.

Karena itulah kejujuran erat kaitannya dengan kesatuan perkataan dan perilaku. Integritas atau keutuhan meliputi sekaligus ucapan dan kelakuan. Kejujuran berarti kesamaan antara refleksi dan aksi. Pengakuan dan tindakan.

Dan pada titik persinggungan semacam inilah kita semua ditantang untuk memperlihatkan pilihan keberimanan kita. Artinya, akankah kita hanya sekadar merasa nyaman melakukan penyembahan dan pengakuan saja, berasyik masyuk dengan doa, ibadat, renungan, namun alpa dan tidak jujur dalam memberlakukan secara total akan apa yang difirmankan-Nya.

Kisah Simon Petrus sejatinya memperlihatkan gambaran gereja, gambaran kita semua.

Terkadang, sebagaimana Simon Petrus yang mengkompromikan kebenaran, dan menjadi tidak jujur dalam memberlakukan pengakuan dan keyakinannya, kita juga terpeleset dalam hal yang sama.

Dalam pusaran sejarah, Gereja yang semula didirikan di atas batu karang, nyatanya pernah memilih untuk berdiri di atas dasar pasir yang rapuh. Kisah manipulatif di abad pertengahan tentang penjualan surat penghapus dosa yang digawangi oleh Johanes Tzetel, yang konon dilakukan demi memperkaya kaum klerus (imam) serta untuk mempermegah basilica Santo Petrus menjadi buktinya. Juga cerita sedih perselingkuhan Gereja dengan Kekuasaan yang menyebabkan schisma/perpecahan gereja Barat dengan gereja Timur menjadi fakta yang tak terbantahkan. Ironisnya kisah yang sama juga kita alami selaku sebuah persekutuan. Dalam refleksi seputar hari pembangunan GKJW di bulan Agustus, kita diingatkan bahwa intrik kekuasaan yang menyilaukan mata sempat membuat GKJW tidak lagi jujur dalam memberlakukan kehendak-Nya. Dan sebagai hasilnya tubuh gereja sempat terpecah dan tercabik menjadi beberapa bagian.

Ketidakjujuran dan ketiadaan ketulusan terbukti menghancurkan segala sesuatunya.

Kitab Yesaya mengingatkan bahwa Sebna, seorang pengurus istana yang korup dan tidak jujur, yang dikisahkan menggunakan kekuasaan untuk memperkaya diri dengan salah satunya membangun kuburan yang mewah dan megah di atas bukit dihardik oleh Tuhan dan diancam akan dilemparkan dari jabatannya, dan digulingkan. (baca Yes 22:19-23)

Karenanya kita diajak untuk memperbaharui kehidupan dengan semangat kejujuran dan ketulusan. Kalau toh selaku persekutuan dan sebagai pribadi kita pernah terpeleset dalam ketidakjujuran, maka segeralah bangkit. Mari menjadi seperti Petrus yang walaupun pernah terjatuh namun bangkit dan berubah menjadi pemberita Kabar Sukacita yang gigih, tulus, jujur dan berani berpijak pada Kebenaran yang menghidupkan. Dogma yen ora edan, ora keduman, yen jujur ajur yang dihembuskan lingkungan jelas sama sekali keliru. Kristus dan pengikut-Nya seharusnya tidak berpihak dan memberlakukannya.

Sebagaimana ilustrasi awal tentang seseorang yang menyimpan air di gunung. Maka ketika kita mengaku bahwa Yesus adalah Kristus, Sang Mesias, saat bibir mengucap Yesus adalah Tuhan, dan kemudian memilih untuk dengan segenap hati mengikut Dia, konsekuensinya, dunia dan semua orang mungkin saja menganiaya dan mencibir. (bdk.Yoh 15:18-27). Apalagi jika kukuh berpihak kepada terang kebenaran dan kejujuran. Namun tak mengapa. Pikirkanlah apa yang dipikirkan Allah dan jangan memikirkan apa yang dipikirkan manusia (16:23). Dan bertekunlah. Sebab anugerah-Nya dilimpahkan kepada setiap mereka yang setia.

Akhirnya, kiranya kita tidak membuang dan menyia-nyiakan air kehidupan yang telah dianugerahkan Tuhan, apalagi memilih turut menjadi gila dengan dunia. Amin.