Menjadi Sesama Sehabis-Habisnya

Friday, 12 October 2012

Tobing.or.id, Kel. 12:1-4, (5-10), 11-14; Mzm. 116:1-2, 12-19; I Kor. 11:23-26; Yoh. 13:1-17, 31b-35

“Jadi jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu,
maka kamupun wajib saling membasuh kakimu” (Yoh. 13:14)

Mengetahui saat kematian mendekat sangatlah menakutkan. Ketidaktahuan setiap orang tentang hari kematiannya justru perlu disyukuri. Karena dia dapat menjalani kehidupan secara normal dan tanpa dibayang-bayangi oleh kematian yang mendekat. Justru di Yoh. 13:1 menyaksikan hal yang sebaliknya. Tuhan Yesus telah mengetahui bahwa saatNya sudah tiba untuk beralih dari dunia ini kepada Bapa. Tuhan Yesus tahu dengan persis kapan dan dengan cara bagaimanakah Dia akan wafat. Dengan kesaksian tersebut Injil Yohanes mau menyatakan bahwa peristiwa kematian yang akan dialami oleh Kristus bukanlah suatu tragedi. Tuhan Yesus sendiri yang menggenggam dan menentukan kapankah Dia berada di tengah dunia dan kapankah Dia akan wafat. Salib bukan malapetaka yang tidak terelakkan bagi Kristus, tetapi cara kematian yang dipilih oleh Kristus sebagai jalan hidupNya. Apabila seluruh umat manusia tidak dapat mengelak dari realitas kematian dan bagaimana cara kematian tersebut akan terjadi, maka tidaklah demikian bagi Kristus. Di Yoh. 10:18, Tuhan Yesus berkata: “Tidak seorangpun mengambilnya dari pada-Ku, melainkan Aku memberikannya menurut kehendak-Ku sendiri. Aku berkuasa memberikannya dan berkuasa mengambilnya kembali. Inilah tugas yang Kuterima dari Bapa-Ku". Apabila Tuhan Yesus kelak wafat disalib, bukan karena salib yang menyebabkan Dia wafat. Tetapi Kristus wafat karena Dia yang memberikan nyawaNya menurut kehendakNya sendiri. Karena itulah makna kematian Kristus untuk mengungkapkan kasih dan pengampunan Allah yang menyeluruh. Dengan pemahaman demikian, kita dapat mengerti mengapa menjelang kematianNya Kristus dalam kesaksian Injil Yohanes justru dipakai untuk melayani murid-muridNya. Tuhan Yesus melepaskan jubahNya dan mengambil sehelai kain lenan untuk mencuci kaki para muridNya.

Tradisi mencuci kaki bukanlah sesuatu yang asing bagi dunia Timur. Tetapi yang dimaksud dengan tradisi tersebut adalah mencuci kaki dilakukan oleh orang-orang bawahan kepada tuan atau majikannya. Sebab tindakan mencuci kaki dianggap sebagai pekerjaan rendah dan hanya dilakukan oleh orang-orang yang tidak memiliki suatu kedudukan. Tetapi tidaklah demikian makna mencuci kaki yang dilakukan oleh Tuhan Yesus. Dia yang adalah Guru dan Tuhan justru bersedia mencuci kaki para muridNya. Dalam peristiwa Kamis Putih, Tuhan Yesus bersedia merendahkan diriNya sehabis-habisnya sebagai seorang hamba-sahaya. Kedudukan Tuhan Yesus sebagai Guru dan Tuhan dimaknaiNya dengan tindakan melayani sebagai seorang hamba. Sering timbul salah pengertian seakan-akan Tuhan Yesus melepaskan kedudukanNya sebagai Tuhan dan Juru-selamat saat mencuci kaki para muridNya. Kedudukan dan otoritas Tuhan Yesus sebagai Tuhan, Guru dan Juru-selamat tidak pernah lepas dari diriNya. Tetapi kedudukan Tuhan Yesus sebagai Tuhan, Guru dan Juru-selamat ditempatkan dalam semangat seorang hamba yang melayani dan merendahkan diri. Dengan perkataan lain gelar Tuhan Yesus sebagai Tuhan, Guru dan Juru-selamat tidak ditempatkan sebagai suatu kedudukan yang memerintah, menguasai dan meninggikan diri. Paradigma Injil justru memutar-balikkan kebenaran yang sering dianut oleh dunia. Dalam perspektif Kristus, semakin tinggi kedudukan seseorang seharusnya semakin memampukan seseorang untuk melayani di posisi yang terendah. Kedudukan seseorang yang tinggi menjadi mulia dan bermakna apabila dihayati dengan kerendahan hati dan kompetensi yang fungsional. Makna kerendahan hati tidaklah sama dengan sikap rendah-diri. Karena di dalam spiritualitas kerendahan hati tersimpan suatu kemampuan, kompetensi dan karunia yang siap untuk dibagikan. Dengan demikian makna suatu kedudukan yang tinggi seharusnya mencerminkan kekayaan spiritualitas yang mampu memuliakan martabat manusia, dan memberdayakan sesama serta membuat sesama menjadi berarti. Makna tindakan Kristus mencuci kaki para muridNya bukan sekedar suatu simbolisasi dan ritualisasi, tetapi sungguh-sungguh sebagai gaya dan pola hidup setiap umat beriman. Itu sebabnya Tuhan Yesus berkata: Jadi jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, maka kamupun wajib saling membasuh kakimu” (Yoh. 13:14). Karena itu gereja perlu melaksanakan tradisi mencuci kaki setiap hari Kamis Putih dan melakukannya di dalam kehidupan umat setiap hari, yaitu merendahkan diri dan melayani.

Dengan tradisi mencuci kaki setiap hari Kamis Putih, umat disadarkan tentang sikap Kristus yang berkenan merendahkan diri dan melayani dengan segenap hatiNya. Karena itu umat dimampukan untuk menerapkan pola dan sikap Kristus tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Ibadah seharusnya menjadi sumber inspirasi iman dalam kehidupan umat sehari-hari. Sebaliknya juga kehidupan sehari-hari umat seharusnya mencerminkan idealisme spiritualitas yang dirayakan dalam suatu ibadah. Dengan demikian antara ibadah dan kehidupan sehari-hari menjadi realitas yang integral, sehingga umat dapat mengalami suatu transformasi iman dalam kehidupan nyata. Transformasi iman tersebut perlu terus diperjuangkan sebab realitas kehidupan kita justru memiliki kecenderungan yang sangat kuat untuk merendahkan sesama sehabis-habisnya. Upaya merendahkan diri sehabis-habisnya terlihat dari sikap patriakhalisme di mana peran lelaki, suami dan ayah begitu dominan sehingga membungkam peran wanita, istri dan ibu. Sikap patriakhalisme menimbulkan diskriminasi gender yang mendiskreditkan peran wanita dalam berbagai bidang kehidupan. Kita juga menghadapi diskriminasi kelompok mayoritas terhadap minoritas dalam berbagai bidang seperti: agama, suku, budaya, ekonomi dan politik. Semua bentuk superioritas tersebut pada intinya ingin merendahkan orang lain sehabis-habisnya dengan tujuan untuk meninggikan diri atau kelompoknya sehabis-habisnya. Inti spiritualitas yang terkandung dalam berbagai sikap superioritas tersebut sebenarnya didasarkan pada kemiskinan rohani yang terlepas dari rangkulan kasih Allah yang membebaskan. Mereka belum mengenal Kristus selaku Tuhan dan Juru-selamatnya. Apabila mereka mengenal kasih Kristus, maka pastilah mereka akan melakukan apa yang dilakukanNya. Tuhan Yesus berkata: “sebab Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu” (Yoh. 13:15). 

Karya keteladanan Kristus tersebut perlu dihidupi dalam sistem nilai yang meresapi semua bidang kehidupan. Selama sistem nilai kita masih miskin dalam kasih, tanpa kerendahan-hati dan solidaritas – maka berita Injil tersebut hanya akan menjadi ritualisme. Umat hanya tersentuh saat mendengar khotbah, tetapi tidak mengalami suatu transformasi kehidupan. Selesai mengikuti ibadah, mereka akan kembali mengeksploitasi dan merendahkan sesama sehabis-habisnya. Kemudian pada waktu ibadah selanjutnya mereka kembali begitu khusuk dan bersikap saleh, tetapi dalam kehidupan nyata tingkah-laku mereka tidak mencerminkan sikap Kristus. Gereja perlu mengupayakan suatu spiritualitas iman Kristen yang berpusat kepada karakter Kristus. Yang mana spiritualitas tersebut dapat menjadi sistem nilai dalam kehidupan keluarga, pekerjaan, bisnis, relasi dalam masyarakat. Dengan sistem nilai yang berpusat kepada Kristus, setiap umat percaya wajib menolak dan menentang secara tegas setiap bentuk superioritas dan diskriminasi. Umat harus disadarkan bahwa kemuliaan yang tertinggi adalah kerendahan hati sebagaimana dinyatakan oleh Kristus. Karena itu dengan kerendahan hati yang berpusat kepada Kristus, umat dimampukan untuk saling mengasihi dan mengampuni. Model kasih dan pengampunan umat percaya bukanlah filosofi atau ajaran agama di sekitarnya, tetapi Kristus semata. Sebagaimana Tuhan Yesus berkata: “Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi” (Yoh. 13:34).