Wednesday, 28 March 2007
Tobing.or.id, JAKARTA, KCM - Deddy Mizwar kembali membuktikan dirinya sebagai
bintang plus sutradara terbaik di negeri ini. Lewat Nagabonar Jadi 2, yang juga
dibintanginya bersama aktor Tora Sudiro, Bang Haji--begitu ia disapa--berhasil
menyuguhkan karya bermutu tanpa harus meningalkan warna Indonesia yang
membumi.
Inilah sebuah sekuel yang manis dari film Nagabonar
arahan sutradara MT Risyaf, yang skenarionya ditulis (alm) Asrul Sani. Deddy
menghadirkannya kembali setelah 20 tahun film itu dirilis, tanpa kehilangan
gregetnya. Ya, sebuah pekerjaan yang tak gampang untuk dijalani di tengah
derasnya perubahan zaman yang begitu cepat.
Namun Nagabonar tetaplah
Nagabonar. Ia seakan menjadi sebuah simbol yang tak habis digerus zaman. Selalu
hadir dalam benak dan kehidupan masyarakat Indonesia. Dan, Deddy berhasil
menghadirkannya kembali lewat Nagabonar Jadi.
"Luar biasa! Semua
luar biasa. Skenario dan pemainnya sangat kuat," sahut sutradara Chairul Umam,
yang masih duduk di bangku usai menyaksikan pemutaran perdana film Nagabonar
Jadi 2, arahan sutradara Deddy Mizwar, di Djakarta Theater, Selasa
(2/3).
Apa yang dilontarkan Chaerul jelas bukan sekadar basa-basi
menyenangkan sang rekan. Tapi itulah faktanya, film yang skenarionya kini
ditulis Musfar Yasin itu, berhasil memberi keyakinan bahwa film nasional masih
bisa bersinar asalkan dipenuhi film-film semacam ini, bukan film horor-hororan
yang membodohkan itu.
Ada benang merah yang
begitu kental. Nagabonar tetaplah Nagabonar yang dulu. Sebagai pelakon utama,
Deddy berhasil menghidupkan sosok Nagabonar kembali. Usianya kini tak lagi muda.
Jalannya pun sedikit bungkuk, kulit yang kriput plus rambut yang telah dijejali
uban di mana-mana. Meski begitu, kepiawaian Nagabonar dalam urusan mencopet
masih tetap saja lincah.
Ini yang kemudian menjadi pemantik untuk
mengingatkan sosok Nagabonar yang sempat menari-nari dalam ingatan penonton di
Tanah Air. Nagabonar yang unik dengan segala polahnya yang mengundang tawa. Dari
sosoknya pun, tokoh rekaan Asrul Sani ini, memang sudah bisa membuat orang
tertawa.
Pada masa perjuangan, ia adalah sosok yang "unik." Dia jago
nyomot dan kemudian mengikrarkan dirinya sebagai jenderal di masa
perjuangan. Ucapannya kerap tedeng aling-aling, tapi juga sok tahu sehingga dari
ucapan dan prilakunya sering muncul kejenakaan yang spontan.
Inilah yang
kembali disodorkan. Deddy lagi-lagi berhasil menghidupkan karakter Nagabonar
pada zaman yang berbeda. Ya, sebuah dunia yang tak terbayangkan di kepala
Nagabonar. Kemerdekaan yang dulu turut diperjuangkannya, dirasakannya hanya
dicicipi segelintir orang saja.
Lihat saja, ketika ia mengendarai bajaj
di jalan utama di Jakarta, kendaraan yang ditumpanginya itu diberhentikan
polisi. Si supir bajaj tak bisa mencegah keinginan Nagabonar. Maklum,
penumpangnya seorang pensiunan jenderal! Ia pun melabrak larangan masuk bagi
bajaj.
Perdebatan pun terjadi. Ini menjadi bagian yang ngocol. Tatkala
Nagabonar berargumen dengan pak polisi. Itu bukan akhir dari kejenakaan yang
disodorkan Nagabonar. Polahnya yang ndeso, juga menjadi magnet yang tak
terlepaskan dari seorang jenderal benama Nagabonar.
Bang Haji, memang
mencoba menghadirkan banyak konflik. Tak sekadar hubungan ayah dan anak, anak
dan kekasih juga konflik terhadap zamannya. Dahsyatnya, semua itu terekam betul
dan terjaga secara apik. Bolehlah jadi, lewat Nagabonar Jadi 2, Bang
Haji ingin memperlihatkan gambaran tentang sebuah negara bernama
Indonesia.
Lihatlah sejumlah karakter dimunculkan. Ada sopir bajaj yang
asal Betawi dan Madura, sopir metromini yang asal Sumatra Utara, atau bahkan
rekan Bonaga yang asal Arab.
Dan, zaman inilah yang terekam dalam
benaknya. Itu karena Deddy memilih setting masa ini, lantaran punya
keterbatasan untuk menghadirkan kembali Nagabonar di masa-masa perjuangan
dulu.
"Saya punya kesulitan memilih di zaman itu. Karena saya tidak
merasakan bagaimana hidup di zaman itu, tidak seperti Pak Asrul Sani. Makanya
dibutuhkan suasana yang sangat in untuk menyampaikan pesan kepada anak-anak
sekarang," kata Deddy kepada pers sebelum penayangan filmnya
tersebut.
Skenario yang dibangun Musfar Yasin, sebetulnya penuh pesan
yang membumi namun tak terasa menggurui. Deddy mengemasnya dengan gaya komedi
yang cerdas. Seperti halnya Asrul Sani, yang mampu menyuguhkan cerita yang
sangat kuat dan berisi humor-humor yang "pintar". Kekuatan humor itu terkandung
bukan saja dalam cerita, tetapi juga dalam ucapan-ucapan Naga.
Sosok
Nagabonar masih begitu dominan, meski kini telah hadir sosok Bonaga. Tapi bisa
dimaklumi, toh Nagabonar lah yang menjadi juru kunci yang sebenarnya. Ia masih
menjadi sosok sentral. Dan, Deddy berhasil memainkannya secara
gemilang.
Tak ayal, inilah yang memberi efek terhadap akting para pemain
lainnya. Tora Sudiro, Nagabonar junior itu, mampu mengimbangi permainan Deddy
yang sudah mumpuni itu. Dua sosok inilah yang kemudian menjadi sentral
cerita.
Ada konflik yang dibangun, yakni sebuah kesenjangan antargenerasi
yang kerap hadir. Inilah yang tergambar ketika Bonaga berniat menerima pinangan
investor asing untuk membangun sebuah kota wisata di perkebunan kelapa sawit
milik Nagabonar. Yang jadi soal, di sanalah bersemayam kuburan orang-orang yang
dikasihinya: Mereka tak lain, Mamaknya, Istri Nagabonar, Kirana, dan sahabatnya
si Bujang.
Perbedaan cara pandang dan penyampaian, pada akhirnya kerap
melahirkan kesenjangan-kesenjangan itu. Nagabonar Jadi 2, bisa jadi
merupakan jawaban Deddy atas kesenjangan antargenerasi yang kerap datang. Hanya
dialog dan cinta lah yang pada akhirnya bisa menyelesaikan
kesenjangan-kesenjangan itu.
Deddy, memberikan ruang dialog itu lewat
Nagabonar Jadi 2. Lihatnya, betapa sekarang banyak generasi muda yang
tak mau lagi menghargai jasa-jasa pahlawannya. Dan, Nagabonar kembali
mengingatkan kepada kita tentang semangatnya mempertahankan nilai-nilai
penghargaan dan kemanusiaan yang kini sudah tergerus.
Akhirnya, hanya dua
kata yang bisa menggambarkan film satu ini: luar biasa! Ya seperti apa yang
dilontarkan Chaerul Umam, sesaat setelah menyaksikan film satu ini.